Emi Suy
Marsinah, Topi, dan Puisi
.jpg)
MULA -mula saya kenal Sapardi Djoko Damono (SDD) melalui berbagai petikan puisinya yang dikutip banyak orang di media sosial, seperti puisi “Aku Ingin” . Saya pun mulai membaca puisi-puisi SDD di berbagai sumber, dan tergerak juga mengoleksi buku-buku puisinya, baik lawas atau baru.
Selama hidup, saya tiga kali bertemu SDD di acara yang berbeda, mulai dari minta tanda tangan, foto bareng, sampai wawancara singkat perihal buku puisi dan topi. SDD merupakan sosok yang kalem sebagaimana puisi-puisinya yang liris. Terlebih lagi, sosoknya pun bagi saya adalah puisi yang berbicara dan bergerak dengan lembut.
SDD merupakan salah seorang penyair dari Indonesia yang tekun dalam merawat kesabaran untuk tetap melahirkan puisi yang meneduhkan. Puisi-puisinya cenderung romantis, padahal tema yang diangkat adalah peristiwa yang tidak romantis, misalnya puisi “ Dongeng Marsinah ” salah satu puisi yang saya sukai dalam buku Melipat Jarak :
DONGENG MARSINAH
Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi,
merakit, sekrup, dan roda gigi;
Waktu memang tak pernah berkompromi,
ia sangat cermat dan hati-hati.
Marsinah itu cerminan sejati,
tak lelah berdetak
meminta kefanaan
yang abadi;
"kami ini tak banyak kemauan,
hanya hidup yang layak,
sebutir nasi."
Marsinah, kita tahu, tidak bersenjata,
ia hanya suka merebus kata
sampai mendidih,
lalu meluap kemana-mana.
"Ia suka berpikir", kata Siapa,
"itu sangat berbahaya."
Marsinah tidak ingin menyulut api,
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.
"Ia tahu hakikat waktu," kata Siapa,
"dan harus dikembalikan
ke asal, debu."
Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
ia disekap di ruang pengap
ia memanjang ke kursi;
mereka kira-kira waktunya bisa disumpal
agar lengking detiknya
tidak terdengar lagi.
Ia tidak diberi udara;
dia tidak diberi nasi;
detik pun gerah
berloncatan ke sana ke mari.
Dalam perhelatan itu,
kepalanya ditetak,
sengkangnya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.
Detik pun terjadi
Marsinah pun abadi
Di hari baik bulan baik,
tangis tak pantas.
Angin dan debu jalan,
klakson dan asap knalpot,
mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.
Semak-semak yang tak terurus
dan tak pernah ambil peduli
meregang waktu berjam-jam;
Marsinah diseret
dan dicampakkan -
sempurna, sendiri.
Pangeran, apakah sebenarnya
inti kesamaan? Sebenarnya
sumber keserakahan? Sebenarnya
azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya
hakikat kemanusiaan, Pangeran?
Apakah ini? Apakah itu?
Duh Gusti, apakah pula
pertanyaan makna?
“Saya ini Marsinah,
pekerja pabrik arloji.
Ini benar, bukan? Jangan saya diusir
kedunia lagi;
jangan aku dikirim ke neraka itu lagi."
Malaikat tak suka banyak berkata,
dia sudah paham maksudnya.
Sengsara betul hidup disana,
jika suka berpikir,
jika suka memasak kata;
“apa sebaiknya kita menggelinding saja
bagai bola sodok,
bagaimana roda pedati?"
Malaikat tak suka banyak berkata,
ia membiarkan gerbang terbuka.
"Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang menggenggam tangan,
yang tampangnya garang
di poster-poster itu;
saya tidak pernah menjadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana."
Malaikat tak suka banyak berkata,
tapi lihat, dia seperti terluka.
Marsinah itu cerminan sejati,
melingkar di pergelangan tangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi.
Kita tatap wajahnya
setiap pergi dan pulang kerja,
kita rasakan berdetak-detiknya
disetiap getaran kata.
Marsinah itu cerminan sejati
melingkar di pergelangan tangan
tangan kita ini.
(1993-1996)
Ketika membaca puisi itu, kenangan saya dikirimkan dua: Pertama, ingatan langsung ke bulan Mei 1993, di mana kekerasan fisik terjadi di Marsinah , salah satu aktivis aktivis buruh pabrik cerminan yang tragis karena tuntutan kenaikan upah di Jawa Timur. Kedua, pikiran saya menangkap kenangan dari ucapan Sapardi mengenai proses kreatifnya dalam suatu pertemuan:
“Saya nulis, marah, saya nulis, marah. Sampai hari ini masih marah, tapi karena sudah jadi puisi, jadi tidak marah. Menurutku, orang marah tidak usah menulis puisi, demo saja, deh."
Saya menyimpulkan ungkapan SDD di atas, bahwa kemarahan pada suatu peristiwa bisa diredakan dengan cara menulis puisi. Sebaliknya, rasa marah itu hilang dalam hati dan pikiran ketika kita ingin menulis puisi tentang momen tersebut.
Larik-larik SDD dalam puisi di atas: Marsinah itu pesona sejati/ melingkar di pergelangan tangan/ tangan kita ini/ dirabanya denyut nadi kita/ dan mengingatnya/ agar belajar memahami/ hakikat presisi/ kita tatap wajahnya/ setiap hari pergi dan pulang kerja/ kita rasakan mencatat-detiknya di setiap getaran kata// menunjukkan bahwa Sapardi sangat tepat dalam cara memilih diksi, meletakkan personifikasi dan metafora untuk mewakili atau menggambarkan secara detail setiap sisi situasi yang sangat penting untuk diungkapkan dalam puisi.
Setiap kekejaman dan kepedihan yang terjadi pada Marsinah, mampu diungkapkannya secara lembut dengan metafora yang unik dan menarik. Seolah-olah kita diajak untuk menghayati peristiwa itu dengan lapang dada dan juga memperingatkan pada diri kita untuk selalu berpegang teguh pada perikemanusiaan.
Seolah-olah ia menyampaikan suatu peristiwa bukan untuk membangkitkan kembali emosi pembaca, melainkan untuk berkontemplasi tentang Marsinah. Dari memahami kita dapat belajar pada kematangan puisi-puisi SDD yang sejati. Kita bisa memahami bahwa karyanya mampu mewakili segenap perasaan orang lain dari generasi yang berbeda.
Walau SDD telah mengikuti Marsinah di usianya yang ke-80 tahun, 19 Juli 2020, namun dalam dunia kesusastraan Indonesia, namanya akan terus dikenang sebagai penyair 'hujan bulan juni'. Saya sendiri masih ingat bisiknya di terakhir kali bertemu: “Kata dalam puisi semisal topi yang kamu pakai, ia harus diletakkan di tempat yang tepat lalu SESUAI .”
Jakarta, 31 Agustus 2020